Oleh: Ust. Mahdi Karim

‘Merdeka Belajar’, ‘Ujian Nasional dihapus’, ‘Bahasa Inggris ditiadakan untuk SMP dan SMA’. Begitulah beberapa topik kebijakan terkini yang tersiar luas di dunia pendidikan. Ya, sebuah pola umum yang pasti terjadi ketika pergantian pimpinan atau mentri pendidikan yaitu, “pemimpin baru, kebijakan baru”. Lantas, ada apa gerangan dengan dunia pendidikan Indonesia sehingga pola ini terjadi terus-menerus? Apalagi kali ini gagasan yang digulirkan “Mas Mentri” cukuplah ekstrim sehingga bisalah kita simpulkan bahwa sistem pendidikan Indonesia selama 74 tahun ini belum juga memiliki pijakan yang “saklek”. Sistem pendidikan kita seolah terjebak dalam arus pusaran uji-coba sistem tanpa henti. Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak dalam pusaran uji-coba sistem tanpa henti, ada baiknya kita menganalisa secara mendalam landasan yang melatarbelakangi seringnya pergantian kebijakan tersebut.

Kegagalan pendidikan indonesia?

Salah satu landasan terpopuler untuk menunjukkan bobroknya pendidikan Indonesia adalah hasil PISA (Programme for International Student Assessment) yang memang dipakai dunia Internasional untuk mengevaluasi sistem pendidikan. Pengukuran PISA bertujuan untuk mengevaluasi sistem pendidikan dengan mengukur kinerja siswa di pendidikan menengah, terutama pada tiga bidang utama, yakni matematika, sains, dan literasi. Hasilnya? Ternyata siswa Indonesia memiliki kemampuan di bawah rata-rata dalam seluruh aspek penilaian, baik itu kemampuan membaca maupun kemampuan sains dan matematika. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, justru dari tahun ke tahun Indonesia mengalami penurunan nilai.

Selain hasil PISA, mari kita lihat juga buah pendidikan Indonesia dengan memperhatikan korelasi antara prestasi anak di sekolah dengan prestasinya di masyarakat. Ternyata, sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka yang meraih nilai rapot tertinggi di sekolah, ketika terjun di masyarakat kebanyakan kalah sukses dari mereka yang meraih nilai pas-pasan atau bahkan rendah. Hal ini pulalah yang sering dijadikan “guyonan” anak perkuliahan, bahwa mereka yang meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi (diatas 3,5) akan menjadi karyawan bagi mereka yang ber-IPK rendah.

Fenomena ini harusnya menimbulkan pertanyaan, “jika parameter kesuksesan di sekolah tidak sejalan dengan kesuksesan di masyarakat, lantas sekolah mempersiapkan anak didiknya untuk apa? Bukankah sekolah mempersiapkan peserta didik untuk siap sukses di masyarakat?

Terkait erat dengan kesuksesan seseorang di masyarakat, Thomas J. Stanley melakukan penelitian dengan cara memetakan 100 faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan seseorang berdasarkan survey terhadap 733 miliarder Amerika Serikat. Hasilnya? 10 besar faktor paling menentukan terhadap kesuksesan seseorang ternyata adalah kejujuran, disiplin keras, mudah bergaul, dukungan pendamping/pasangan, kerja keras, kecintaan terhadap apa yang dikerjakan, kepemimpinan, kepribadian yang kompetitif, hidup teratur, dan kemampuan menjual ide.

Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tinggi saat bersekolah tidaklah masuk dalam peringkat 10 besar. Lalu berada di posisi manakah nilai-nilai sekolah? Ternyata, penilaian tinggi di sekolah hanya berada pada faktor ke-30, sementara faktor IQ berada pada urutan ke-21, dan faktor bersekolah di universitas atau sekolah favorit menempati peringkat ke-23.

Kalaulah ada yang berkilah bahwa parameter kesuksesan yang dimaksud terlalu sempit, yakni sekedar mengukur kesuksesan berdasarkan kekayaan, maka mari kita perhatikan juga korelasi antara tujuan pendidikan nasional dengan hasil pendidikan selama ini. Tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 memperlihatkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, dan masih banyak lagi.

Bagaimana kenyataannya? Apakah semakin tinggi gelar seseorang,  semakin beriman dan bertaqwa? Siapakah para pelaku korupsi? Mereka yang mengenyam pendidikan tinggi atau orang tidak berpendidikan?

Faktor utama kesuksesan

Jika kita perhatikan seksama faktor terbesar penentu kesuksesan yang diteliti oleh Stanley dan tujuan pendidikan nasional, semuanya bermuara kepada keutamaan sikap, karakter, soft skills, atau dalam istilah islam disebut Akhlaq.

Jika Stanley berbicara jujur, akhlaq dalam islam sudah lebih dulu mengajarkan kita untuk bersikap shiddiq. Jika Stanley berbicara mengenai disiplin keras, akhlaq dalam islam menuntun kita lebih dari itu, yakni taat, begitu juga seterusnya sikap mudah bergaul (sudah tercakup dalam perintah menjaga ukhuwah), sikap kompetitif (fastabiqul khoiroot), kemampuan menjual ide (tabligh), dan masih banyak lagi. Intinya, seluruh sikap maupun sifat utama penentu kesuksesan dalam penelitian J. Stanley, pastilah ada dalam tuntunan akhlaq islam, bahkan akhlaq Islam memiliki nilai lebih dalam.

Oleh karena itu, seharusnya pendidikan berfokus pada pendidikan Akhlaq. Inilah implementasi sesungguhnya dari hadits rasulullah, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq sholeh”. Jadi, jauh berabad-abad sebelum Stanley meneliti faktor kesuksesan, Rasulullah telah menetapkan perbaikan akhlaq sebagai misi utama yang akan menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.

Jika kita cermati lebih dalam lagi, sesungguhnya akhlaq adalah potensi dasar yang dimiliki setiap manusia atau disebut pula “fitrah”. Beberapa nilai Akhlaq yang telah disebutkan seperti jujur, taat dan sebagainya merupakan sifat yang dimiliki manusia pada awal penciptaan. Contohnya sikap taat, dalam Q.S. Al-A’raf ayat 172, Allah bertanya kepada seluruh keturunan adam ketika baru keluar dari sulbi, “Alastu Birobbikum (Bukankah aku ini Rabbmu?)” kemudian seluruh bani adam menjawab “balaa syahidnaa (betul, kami bersaksi).”

Berdasarkan ayat tersebut, setiap keturunan Adam di awal penciptaan mengakui bahwa Rabb mereka adalah Allah. Rabb sendiri memiliki arti pengatur, dengan kata lain manusia sejak awal punya sikap “siap taat” terhadap aturan Allah. Sikap dasar manusia di awal penciptaan inilah yang disebut fitrah sebagaimana tertera dalam Q.S. Ar-Ruum ayat 30.  Karena sikap taat adalah akhlaq dan pendidikan seharusnya fokus pada akhlaq, maka bisa kita simpulkan pula bahwa “esensi pendidikan yang hakiki adalah menjaga dan memelihara fitrah manusia.”

Pola Pendidikan Saat Ini

Namun sayangnya, mayoritas orang tua di Indonesia sangat percaya dan berpedoman sekali dengan sistem sekolah, sehingga mereka berpikir bahwa anak mereka akan sukses apabila meraih nilai tinggi di sekolah atau bersekolah di perguruan tinggi negri favorit. Akhirnya segala cara mereka lakukan agar bisa meraih tujuan fana tersebut. Tak jarang usaha mereka ini malah memberikan tekanan berlebih kepada anak, sehingga anak mencoba berbagai upaya seperti “menyontek”. Dengan demikian, buah dari tekanan orang tua adalah “ketidakjujuran” yang justru sangat bertentangan dengan faktor utama penentu kesuksesan.

Selain itu, karena dalam rangka meraih nilai tinggi dan mendapat perguruan tinggi favorit haruslah melalui tes kognitif atau kecerdasan, fokus utama kebanyakan orang tua saat ini hanya mengasah faktor itu saja kepada anaknya. Mereka mengesampingkan pendidikan karakter atau akhlaq. Rutinitas harian anak dipenuhi dengan bekal penunjang kognitif mulai dari bersekolah full day, mengambil les, dan sebagainya, yang kalau kita bedah, porsi pendidikan akhlaqnya sangatlah minim atau bahkan tidak ada sama sekali.

Beragam fakta tadi memperlihatkan bahwa pola pendidikan yang mengutamakan kognitif serta minim akhlaq ini telah mengakar mulai dari sekolah, lingkungan sekitar (masyarakat), hingga di rumah. Hasilnya? Sering bertemulah anak-anak tanpa bekal Akhlaq dengan lingkungan negatif (kata-kata kotor, kriminalitas, kenakalan remaja, rokok, dan sebagainya). Pola inilah yang menghasilkan generasi-generasi muda tak bermoral yang justru merusak bangsa. Jika mereka berpendidikan rendah akan menjadi pelaku kriminal, jika mereka memegang jabatan dan berpendidikan tinggi malah menyalahgunakan amanah.

Pendidikan akhlaq sebagai jawaban

Beragam fenomena pendidikan yang telah dipaparkan membawa kita pada kesimpulan bahwa kegagalan pendidikan terjadi karena pola pendidikan saat ini tidak berorientasi pada penanaman akhlaq serta tidak menyentuh esensi utama pendidikan yakni menjaga dan memelihara fitrah. Saat ini mayoritas pola pendidikan berfokus mengasah salah satu cabang kecerdasan saja, yakni kognitif (kecerdasan intelektual) dan telah terbukti tidak banyak membantu seorang anak untuk sukses bermasyarakat.

Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak dalam pusaran uji coba sistem pendidikan tanpa henti, orientasi pendidikan haruslah difokuskan pada pengembangan Akhlaq. Seharusnya penilaian tertinggi seorang anak selama proses pendidikan ialah yang terbesar “perbaikan akhlaqnya”, bukan nilai intelektualnya. Persepsi inilah yang harus menjadi orientasi seluruh pemangku kebijakan pendidikan, termasuk dalam merumuskan penataran para pendidik dan instrumen belajar. Jika ini dilakukan, maka sistem pendidikan kita akan segera memiliki landasan kokoh dan dapat menghentikan pusaran uji coba sistem pendidikan.

Ponpes Modern Al Umanaa