Oleh Inayatul Badriyah

Berbicara masalah pendidikan sering kali diidentikkan dengan sekolah dan nilai. Padahal pendidikan tidak melulu bicara soal nilai dan tidak hanya berkutat pula ihwal sekolah.  Bahkan, pendidikan tidak mesti berkelit kelindan mengelu-elukan sains dan teknologi. Akhirnya, pendidikan lupa berbicara masalah kehidupan dan perihal cara mengimplementasikannya pada masyarakat. Sejatinya, orang bisa mendapatkan pendidikan dari mana dan di mana saja, tidak melulu harus bersinggungan dengan sekolah. Akan tetapi, dalam kehidupan nyata masyarakat lebih menghargai orang yang mengenyam pendidikan di sekolah.

Sering kali orang-orang, baik orang tua maupun siswa terpaku pada besar dan kecilnya nilai di atas kertas, tetapi tidak pernah peduli pada besar dan kecilnya apresiasi terhadap apa yang sudah mereka dan orang lain lakukan dalam kehidupan. Selain itu, saat ini sebagian besar orang pun salah dalam mengartikan hakikat dari sekolah. Mereka mengatakan sekolah adalah tempat untuk mengenyam pendidikan dengan gedung dan fasilitas yang mampu membuat kita terpana. Fakta membuktikan, hampir semua orang bertanya seberapa bergengsi atau seberapa besar sekolah yang kita tempati, tetapi jarang bertanya “Apa yang kita lakukan dan kita pelajari di sekolah?”

Suatu hari seorang siswa bertanya, “Apa yang penting dari sebuah pendidikan?” Kemudian yang lain menjawab, “Pembentukan karakter. Jika pendidikan tidak bisa membangun karaktermu, apa yang kamu kenyam tidak akan menjadi bermanfaat.” Penggalan diskusi itu seperti tidak menggambarkan banyak sekolah yang faktanya hanya mengajarkan materi tanpa memberikan motivasi dan menjelaskan teori tanpa melakukan praktik sejak dini. Akibatnya, hasil didikan sekolah minim yang bisa diharapkan untuk negeri ini.

Berita di media saat ini membuat kita menghela napas. Kelakuan remaja di luar sana seperti kuda yang terlepas dari kandangnya, liar. Nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan di sekolah seolah tidak berharga sama sekali. Buktinya, banyak kasus kriminal dilakukan oleh remaja dengan status pelajar. Kasus-kasus kriminal melalui media sosial pun banyak terjadi seperti cyber crime  dan cyber bullying. Ke mana nilai-nilai yang sudah diajarkan di sekolah?

Ini adalah bukti dari lemahnya kurikulum pendidikan di negara kita. Sekolah mengajarkan kita teori-teori yang membuat sakit kepala akan tetapi tidak pernah ada tindak lanjut dari itu semua. Tidak ada praktik yang membuat kita terbiasa. Sebagai contoh, sekolah mengajarkan kita untuk memiliki sikap toleran terhadap sesama sebagai konsekuensi dari bangsa yang terdiri dari beragam suku, ras, dan agama. Sekolah mengarahkan peserta didiknya untuk menghargai  pilihan orang lain. Namun faktanya, walaupun hal ini dipelajari di sekolah, masih banyak masyarakat, termasuk pelajar yang tidak mempraktikkannya. Mereka seolah menjadi tuli dan buta dengan nilai-nilai ini. Maka, perlu adanya perubahan pola pikir bahwa sekolah sejatinya adalah belajar hidup, tamat sekolah harus bisa hidup, bukan baru belajar hidup.

Melihat dari kondisi beberapa tahun terakhir, rasisme masih terus berulang. Seperti yang terjadi kepada salah satu mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai oleh Ambrocius Nababan, Januari lalu. Ia memposting dalam akun media sosial pribadinya foto bernada rasis, yaitu foto Natalius yang disandingkan dengan gorila disertai caption yang mengkritik ucapan Natalius. Hal ini tentu menjadi kontroversi. Banyak orang yang pada akhirnya ikut berkoar di media massa, diskriminasi tidak terelakkan lagi. Negara kita diselimuti api pertumpahan darah yang siap berkobar kapan saja. Dimana toleransi kita? Dimana bukti berbeda-beda tetap satu jua? Apa yang sebenarnya mereka permasalahkan? Bukankah menyenangkan hidup di negara yang kaya? Tidak hanya kaya akan sumber daya alamnya tetapi juga kaya akan ras, suku, budaya, dan agama. Kalau kita berpikir jauh ke depan, keberagaman ini akan menjadi tombak utama untuk melaju ke kancah internasional.

Sepakat dengan pernyataan seorang mahasiswa pascasarjana Universitas Sebelas Maret prodi linguistik yang terbiasa hidup di lingkungan plural, Layliyatul Faiqiyah S.Hum. Ia mengatakan, “Kita harus mengubah stigma terhadap perbedaan yang ada di sekitar kita. Kamu tidak pernah tahu seberapa menyenangkannya berada di antara sesuatu yang beragam. Kalau hanya terdiri dari satu, kamu tidak akan pernah tahu dan akan berubah menjadi sok tahu. Kalau kamu mau, jelajahi semuanya dan kamu temukan apa bagian emasnya.”

Kabar baiknya, pemerintah tidak lagi bungkam menghadapi situasi genting yang jika dibiarkan akan menimbulkan pertumpahan darah yang tidak ada habisnya. Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas dalam ceramahnya kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PRRA) menawarkan solusi yang dapat mengatasi masalah ini, moderasi beragama. Moderasi berarti tidak berlebihan atau sedang. Jika moderasi ini disandingkan dengan agama, maka moderasi beragama berarti menghindari keekstreman dalam praktik beragama.

Moderasi beragama bukan berarti menjadi liberal, tidak kaffah dalam beribadah, atau dangkal keimanannya. Tetapi menjadi moderat, yaitu memahami secara kontekstual apa yang diwahyukan Ilahi melalu utusan-Nya. Kemudian, kita mempraktikannya sesuai dengan syariat serta pandangan yang berlaku di masyarakat. Agama pun telah mengatur hal ini dalam kitabnya sebagaimana islam mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, hablumminannaas.

Celakanya, banyak dari kita yang tidak mampu menafsirkan ayat-ayat Ilahi sehingga membuat kita merasa bahwa kita yang paling benar. Akibatnya, terjadi diskriminasi terhadap agama, kaum minoritas menjadi yang terkucilkan. Padahal dalam ayat Al-Qur’an disebutkan bahwa tidak ada paksaan bagi kita untuk beragama, laa ikraaha fi diin. begitu pula dalam ayat lain disebutkan lakum diinukum waliyadiin. Tidak ada yang mengajarkan untuk saling menumpas demi mendapatkan kemuliaan agama. 

Logikanya, kemuliaan agama tidak dapat diraih dengan merendahkan harkat dan martabat manusia. Agama lekat adanya dengan hati setiap manusia. Maka, sebuah kesalahan apabila setiap manusia saling menumpas, menjadikan agama sebagai tameng sebuah kejahatan. Lebih lucu lagi, hal ini banyak terjadi dalam lingkaran kaum milenial dan bakal pemimpin masa depan.

Berlandaskan hal ini tidak salah jika pemerintah menekan adanya moderasi beragama di tengah polemik toleransi yang tak kunjung menempati titik temunya. Moderasi beragama penting diajarkan kepada pelajar di luar sana, baik siswa taman kanak-kanak, hingga mahasiswa perguruan tinggi. Mereka juga harus sadar bahwa moderasi beragama merupakan solusi terbaik untuk mengatasi problematika toleransi yang pelik.

Berangkat dari fenomena ini, pendidikan sebagai tombak utama peradaban tidak hanya harus berlandaskan pada teori-teori tekstual, tetapi juga perlu pendekatan spiritual. Bersandar pada ucapan Wakil Direktur Pondok Pesantren Modern Al Umanaa, “Kalau kamu ingin didengar oleh orang lain, maka dekati ia dari qalbu ke qalbu. Tidak ada pendekatan yang lain yang mengena relung hati selain pendekatan itu. Karena itu seorang guru harus paham bagaimana cara mendidik murid-muridnya pelajaran yang dapat membekas di hati.”

Karenanya, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah menekan pengarusutamaan moderasi beragama melalui pendidikan. Kementerian Agama Republik Indonesia dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepakat untuk menonjolkan moderasi beragama melalui pendidikan keagamaan. Karena dari agama kita mengenal arti toleransi dan kebersamaan. Pendidikan keagamaan berperan penting dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari pendidikan keagamaan ini moderasi beragama harus terus diserukan.

Sebagaimana Islam yang terus menyerukan umatnya untuk berdakwah, bangsa kita pun juga harus melakukannya. Karena dakwah yang kita lakukan akan menentukan warna bangsa kita ke depan. Dakwah yang kita lakukan juga akan menentukan ke mana kita akan berjalan, mengikuti hudan atau luntang-lantung di jalanan