Tahun pelajaran baru kerap menjadi momok yang menakutkan bagi sebagai murid baru sekolah. Bagaimana tidak? Sudah menjadi tradisi tak tertulis di masyarakat kita, bahwa sebagai junior akan mendapatkan perlakuan tidak mengenakan dari senior. Kasus senioritas memang acap kali terjadi dalam dunia pendidikan di negeri kita ini. Bahkan tak mengenal usia, anak Sekolah Dasar pun sudah mengenal senioritas dan bullying. Dua hal tesebut memang tidak dapat dipisahkan, seolah menjadi keharusan, dimana terjadi senioritas pasti ada campur tangan bullying di dalamnya.

Fenomena adanya perlakuan tidak mengenakan di kalangan pelajar ini juga ditemukan di kalangan teman sebaya. Lihatlah saluran televisi kita. Perilaku sekelompok anak remaja yang mengganggu temannya yang dinilai lebih lemah tentu menjadi pemandangan yang tak asing lagi. Inilah potret kehidupan remaja masa kini. Ketika ditanya apa alasannya, hampir semuanya tidak memiliki jawaban yang masuk akal. Ada yang sekedar ‘balas dendam’ karena pernah diperlakukan sama, ada yang ikut-ikutan karena khawatir dianggap tidak setia kawan dengan temannya, bahkan ada yang rela harus tawuran hingga memakan korban hanya demi diterima dalam geng besar di sekolahnya. Mirisnya, hal ini bahkan marak terjadi di sejumlah sekolah unggulan Indonesia.

Tradisi sejak zaman kolonial ini sulit sekali lepas dari bangsa kita. Seakan-akan masyarakat kita tidak bisa meninggalkan budaya jajah-menjajah ini. Padahal, mayoritas bangsa Indonesia memeluk agama Islam dan Islam tidak sedikitpun mengajarkan budaya tersebut.


إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.

(Q.S. Al Hujurat : 10)

Islam mengajarkan kita untuk memperlakukan teman kita sebagai saudara. Hubungan antar saudara tentulah lebih lekat dan harmonis daripada sekedar teman. Meskipun demikian, dalam Islam tetap diatur bagaimana berhubungan dengan yang muda maupun yang lebih tua.

Rasulullah bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا

“Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua.”

(HR. at-Tirmidzi no. 1842 dari shahabat Anas bin Malik)

Seperti halnya padi, semakin berisi semakin merunduk. Maka orang yang lebih tua dianggap sudah lebih berilmu dan tidak serta merta menjadi sombong. Ia akan menyayangi dan membimbing yang lebih muda. Sebaliknya, yang lebih mudah wajib menghormati yang lebih tua. Salah satu bentuk kongkritnya adalah wajib mengucapkan salam dari yang muda kepada yang tua, sesuai dengan hadits yang berbunyi, Dari Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Hendaklah salam itu diucapkan yang muda kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, dan yang sedikit kepada yang banyak.”

(Muttafaqun Alaihi).

Bukanlah mustahil mewujudkan lingkungan yang harmonis antar sesama, saling tolong menolong, mengasihi satu sama lain, mengajak yang ma’ruf, dan mencegah yang mungkar, selama nilai-nilai Islam ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita memiliki kewajiban untuk melindungi generasi muda saat ini dengan menciptakan lingkungan terbaik untuk mereka.

Pondok Pesantren Modern Al Umanaa berkomitmen menciptakan persaudaraan antar santri melalui berbagai metode. Pertama, pengelolaan kamar disimulasikan seperti keluarga. Santri yang lebih tua dikombinasikan dengan yang lebih muda, seakan-akan memiliki sosok kakak atau adik, serta wali kamar berperan sebagai orang tua. Yang muda menghormati dan meneladani yang muda, sedangkan yang tua mengayomi dan membimbing yang lebih muda.

Kedua, penegakkan aturan tegas terkait hubungan antar santri. Segala tindakan yang berpotensi menimbulkan pertengkaran seperti meledek, mengancam, dan perkelahian fisik termasuk dalam pelanggaran berat. Oleh karena itulah, seleksi masuk santri Pondok Pesantren Modern Al Umanaa tidak berdasarkan nilai-nilai rapor dan prestasi kognitif, namun kesiapan santri dalam mengikuti tata tertib, termasuk di antaranya kesanggupan menghindari segala bentuk pelanggaran berat.

Ketiga, mewujudkan lingkungan yang kekeluargaan antar seluruh civitas pondok dalam aktivitas sehari-hari. Contohnya ialah penerapan 5S (senyum, sapa, salam, sopan, santun), berbagi tugas harian dalam kamar dan kelas, saling menjaga keamanan lingkungan, dan banyak lagi. Berbagai aktivitas, proyek, segala bentuk kesulitan dan kesenangan ditanggung bersama. Hal ini tentu akan menghasilkan sebuah ukhuwah (persaudaraan) yang didambakan oleh setiap orang.

Bersosialisasi bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Setiap anak kita harus menjadi pemimpin yang mampu bergaul dan mengelola emosinya di hadapan berbagai jenis karakter orang.  Kemampuan menyelesaikan permasalahan kecil antar individu adalah pelajaran berharga untuk perkembangan anak. Hidup bersama selama 24 jam di komunitas yang berasal dari berbagai latar belakang namun terjaga akhlaknya akan menjadi solusi para orang tua dalam mendidik anaknya di masa kini. (AA)