Oleh Dyandra Setiawan

Perkembangan zaman disertai pesatnya kemajuan teknologi melahirkan disrupsi yang tidak bisa dihindari lagi. Manusia akan terus dihadapkan pada perubahan sebab ia merupakan suatu keniscayaan. Selain itu, secara kodratnya manusia pun memiliki sifat dinamis yang memicu munculnya gagasan-gagasan dan ide-ide baru dalam rangka menghadapi perubahan dan pemenuhan akan kebutuhannya. Termasuk ketika menghadapi masa pandemi seperti saat ini. Kita sadari semakin banyak aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata kini bergeser ke dunia maya. Meningkatnya interaksi dengan dunia maya menjadi tantangan terkini. Salah satu dampak yang dihadapi ialah derasnya arus informasi media massa dan media sosial, hoaks dan lain sebagainya. Di sini aku ingin berbagi pemahamanku dalam melihat fenomena ini.

Dalam sebuah perjalanan, supaya aku tidak bosan aku bertanya satu hal kepada temanku. “Apa yang terlintas di benakmu jika mendengar temanmu memberikan informasi?” Tanyaku. Temanku itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. “Jika aku yang mendengarnya, aku tidak akan menerima berita itu begitu saja, tapi aku akan cari tahu kebenaran berita tersebut,” jawabku. Kenapa demikian? Karena apapun yang kita dapatkan harus memiliki sumber yang terpercaya. Berita yang kita terima harus dianalisis terlebih jika info tersebut untuk disebarluaskan. Sehingga tidak ada lagi penyebaran hoaks secara masal yang bisa menyebabkan kekacauan.

 Nah, apa apa sih sebenarnya hoaks itu dan dari mana asal istilah tersebut? Hoaks atau ‘hocus’ berasal dari mantra ‘hocus pocus’. Frasa yang seringkali disebutkan oleh pesulap serupa dengan ‘sim salabim’. Menurut Lynda Walsh dalam bukunya Sins Against Science hoaks merupakan berita bohong. Hoaks muncul pertama kali pada tahun 1808. Namun ada juga yang mengatakan bahwa hoaks sudah muncul ratusan tahun sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkam Alexander Boese dalam bukunya, Museum of Hoakses. Ia mencatat hoaks pertama yang dipublikasikan adalah almanak atau penanggalan palsu yang dibuat Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift pada 1709.

Hoaks memiliki pengaruh yang besar dalam memengaruhi pikiran manusia atau opini secara masal. Oleh karena pengaruhnya tersebut, hoaks bisa menjadi ancaman bagi masyarakat jika tidak ditangani dengan tepat. Menghadapi hal tersebut pemerintah mengambil langkah mengeluarkan UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 tentang informasi serta transaksi elektronik dan teknologi informasi secara umum yang berlaku untuk seluruh masyarakat. Nah, berkaitan dengan adanya aturan, jika dilanggar tentu ada hukumannya dong. Apakah hukumannya? Pelaku penyebar hoaks akan dikenakan denda maksimal 1 milyar. Wah..banyak sekali ya. Masih mau nyebarin hoaks? Aku sih tidak[_1] .

Walaupun ada orang yang mengupayakan pencegahan hoaks namun tidak dapat dipungkiri bahwa ia sudah menyebar luas melalui media sosial dan media massa. “Kamu tahu Instagram? Whatsapp?”  Aku bertanya. “Ya tahu dong, zaman sekarang kalau gak tahu itu, kudet namanya. Itu semua medsos yang banyak diguakan zaman sekarang dan hampir oleh seluruh kalangan,” jawabnya.  Seperti namanya, medsos memiliki fungsi komunikasi massal untuk kegiatan sosial. Di medsos inilah -melalui perantara dari satu orang ke orang yang lain- hoaks menjamur, bahkan secara sporadis menyebar dengan cepatnya.

 “Kamu ingat kasus yang mencuat di Twitter pada awal Maret 2020 lalu?” Tanyaku ingatkan waktu lalu. “Oh ya aku ingat. Awal-awal masa pandemi ya? Saat Fahira Idris menyebarkan hoaks tentang banyaknya pasien dalam pengawasan di Indonesia. Dampaknya tentu saja membuat masyarakat menjadi resah. Saat itu juga ia dikenakan tuduhan melanggar UU ITE Pasal 28 (2) juncto Pasal 45 A (2) Nomor 19 Tahun 2016 tentang aturan hukum pidana,” jelasmya. “Tapi apakah kamu tahu bahwa hoaks ternyata dijelaskan pula di dalam Al-Quran disertai larangan menyebarluakannya. Hal tersebut bisa kita jumpai dalam surat An-Nur ayat 11.

Berita tadi itu baru yang terjadi di Twitter. Bagaimana dengan yang lainnya? “Apakah kau ingin kutunjukan data seberapa banyak hoaks menyebar di berbagai media massa?” tawarku dengan antusias. Pada tahun 2017 lalu, Ricky Firmansyah melakukan survei yang membuktikan bahwa berita bohong di Indonesia telah tersebar di situs-situs internet sebanyak 34,9%, televisi 8,7%, media cetak 5%, email 3,7%, dan 1,2% untuk radio. Internet yang sering kita pakai untuk mencari informasi ternyata menjadi media penyebaran hoaks terbanyak, sedangkan data APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menunjukkan pengakses internet di Indonesia didominasi akses menuju sosial media, dengan rasio lebih dari 87,4% pengguna internet dan yang mengunjungi situs pendidikan hanya berjumlah 13,6%. Terlihat dari sini masyarakat Indonesia dapat menemukan banyak berita bohong tanpa disadarinya. Maka jangan heran jika ada yang mengatakan sulitnya mencari berita benar sekarang ini.

            Sungguh ironi dampak yang dihadapi. Ketidakpastian informasi yang secara sembarangan disebar menciptakan keresahan di ruang public masyarakat. Di sisi lain, hoaks juga memiliki pengaruh bagi Kesehatan mental. seperti post-traumatic stress syndrome (PTSD), menimbulkan kecemasan, sampai kekerasan. Emosi negatif yang dominan, tanpa diimbangi rasio, cenderung mendorong orang cepat merespons tanpa pikir panjang. Dampak lainnya adalah kesimpangsiuran berita, provokasi, dan rasa saling curiga. “Bahaya kan?” Pertanyaan itulah yang aku tanyakan. “Iya ya…” Responsnya.

Dari obrolan kita sekarang, mungkin kamu ingin bertanya “Mengapa hoaks cepat menyebar luas selain karena adanya medsos?” Menurutmu apakah akan tersebar luas jika berita ada di tangan orang pandai memilah berita? Tentu tidak. Mereka bahkan berpikir jikalau mereka menyebarluaskan akan berdampak buruk bagi dirinya dan orang-orang sekitar. “Untuk apa mengirimkan berita bohong? Gak ada gunanya”, itulah pemikiran orang yang pandai berliterasi. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa dalam hal ini tingkat literasi sangat mempengaruhi. Hal ini sejalan dengan pendapat Luthfi Maulana yang menyebutkan bahwa, “Peredaran hoaks mudah terjadi, terutama di masyarakat yang tingkat literasinya masih sangat rendah.” Staf ahli Menteri dalam negeri (Mendagri), Suhajar Diantoro menyebutkan bahwa “Tingkat literasi Indonesia pada penelitian di 70 negara itu berada di nomor 62.”

Nah, setelah kita tahu dampak dan hal yang memengaruhi masalah saat ini, kini waktunya kita membekali diri dengan kecerdasan literasi untuk menghadapi distrupsi teknologi. Mengapa literasi? Karena literasi dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Jadi, saat kita sudah bisa berliterasi diharapkan banyak berita-berita yang real not hoaks lagi.


 [_1]