Oleh Aulia Putri
Covid-19, makhluk kecil tak kasat mata ini telah mengubah setiap aspek kehidupan manusia. Kemunculannya di negeri tirai bambu, tepatnya di provinsi Wuhan pada bulan Desember 2019 silam telah menggemparkan dunia termasuk negara kita, Indonesia. Makhluk ini berdampak besar bagi kehidupan masyarakat, di antaranya krisis pangan dan krisis ekonomi yang hampir terjadi di seluruh dunia. Fenomena tersebut dicatat oleh organisasi buruh internasional atau ILO (International Labour Organization) yang menyebutkan bahwa inflasi pangan dari 5,2% pada Desember 2019 menjadi 9,3% pada Januari 2020 di Asia Timur dan Asia Tenggara. Celakanya, Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang juga mengalami hal tersebut. Banyak perusahaan collapse dan terpaksa menerapkan PHK karyawan. Akibatnya, pengangguran lang punggung keluarga pun tak terelakkan dan berdampak pula pada anggota keluarga yang berstatus sebagai pelajar.
Pelajar yang terkena dampak tersebut memutuskan untuk meringankan pekerjaan orang tuanya dengan membantu mencari nafkah. Sayangnya, hal tersebut malah membuat mereka terpaksa untuk berhenti bersekolah. Kondisi ini dibenarkan oleh komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Ibu Retno Listyarti yang menyebutkan bahwa sejak Januari hingga Februari 2021 di Jakarta dan Cimahi terdapat 2 anak putus sekolah karena lebih memilih bekerja. Sedangkan, sejak Maret 2020 hingga Februari 2021 terdapat 34 kasus anak putus sekolah karena menunggak iuran SPP. Bayangkan, punggung yang seharusnya bersandar di bangku sekolah, kini malah menjadi sandaran bagi anggota keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka yang seharusnya merasakan manis dan nikmatnya mencari ilmu, kini malah harus merasakan pahit dan getirnya mencari nafkah.
Sebagai pelajar, dampak yang paling aku rasakan dari melandanya virus Covid-19 adalah berubahnya proses kegiatan belajar mengajar. Covid-19 membuat aku dan teman-teman harus mengalami pembelajaran jarak jauh (PJJ). Kejenuhan luar biasa selalu menggelayuti hari-hariku. Aku selalu merasakan kesepian di tengah ramainya google meet. Setiap hari tugasku hanya tinggal membuka google classroom, mengerjakan tugas yang tersedia, mengumpulkannya melalui tautan, dan kembali kepada realita kehidupan. Pelajaran yang aku dapatkan berjalan melintasi pikiran begitu saja tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan. Berbeda jika aku belajar secara langsung, berinteraksi dengan manusia, bukan dengan monitor. Berbicara langsung menggunakan lisan tanpa perlu melalui ketikan. Tidak hanya sekedar transfer of knowledge tapi juga character education.
Pernahkah terpikirkan oleh teman-teman semua kondisi para pelajar di luar sana? Mereka yang hidup di daerah terpencil tanpa adanya akses internet. Jangankan internet, untuk penerangan pun masih menggunakan petromaks itu pun kalau mereka punya untuk menggantikan lampu. Lalu, bagaimana mereka akan mengikuti PJJ yang membutuhkan alat elektronik dan akses internet, sedangkan untuk menyalakan lampu saja mereka belum mampu? Apakah kita akan membiarkan mereka hidup dalam kebodohan hanya karena daerah mereka belum terjangkau sumber listrik dan akses internet? Apakah kita akan terus membiarkan mereka hidup dalam keterbelakangan? Jika kondisi ini terus berlanjut dan semakin berlarut-larut, bagaimana keadaan para pemuda Indonesia di tahun 2045 nanti?
Namun, keadaan segera membaik dan secercah harapan pun muncul. Setelah beberapa bulan berada di bawah bayang-bayang suram PJJ, akhirnya pemerintah membuka kembali pembelajaran tatap muka terbatas pada bulan Juli 2021. Hal itu merupakan berita terbaik yang pernah aku dengar di bulan itu. Di tambah lagi, pernyataan Pak Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) dalam YouTube Kemendikbud RI tentang pentingnya pendidikan menyulut semangatku sebagai seorang pelajar. Beliau menyatakan bahwa tidak ada tawar-menawar demi pendidikan, terlepas dari situasi yang sedang dihadapi. Aku yakin Indonesia masih punya kesempatan untuk bangkit dari keterpurukan menuju zaman keemasan di tahun 2045. Siapa lagi yang akan meneruskan perjuangan para pendahulu kalau bukan kita para pelajar, sebagai tonggak peradaban bangsa?
Tanpa menunggu lama lagi, aku segera mempersiapkan diri untuk mengikuti PTM (Pembelajaran Tatap Muka) di pondok. Ya! Pondok pesantren. Tenang saja teman-teman, pondokku telah memenuhi standar protokol kesehatan yang berlaku secara resmi. Di pondok ini, penerapan protokol kesehatan selalu mendapatkan perhatian penuh dari para tenaga pendidik. Atas dasar itu, pondok pesantrenku dapat menjadi lingkungan yang tepat dan aman untuk melaksanakan PTM.
Di pondok pesantrenku, aku dididik dan dilatih untuk menjadi generasi unggul. Generasi yang akan menjadi pemimpin di masa depan nanti. Di tempat ini, aku dan teman-temanku dipersiapkan untuk menjadi para khalifah muda yang siap menghadapi berbagai macam tantangan di masa depan. Nah, salah satu tantangan hidup yang harus kami taklukkan sekarang ialah pandemi Covid-19.
Oh ya, apakah teman-teman tahu, mengapa aku sangat bersemangat dalam menyambut pembelajaran tatap muka di pondok? Karena aku bisa mendapatkan banyak sekali pelajaran hidup yang akan sangat bermanfaat bagi kehidupanku di masa depan nanti. Selanjutnya, petualanganku dalam menuntut ilmu, mengembangkan potensi dan kualitas diri, serta mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin di masa depan akan dimulai sekarang juga. LET’S GET STARTED!
Belajar di pondok sangat seru dan menyenangkan, kita tidak hanya belajar di kelas saja. Kita juga belajar di alam sembari men-tafakkuri keindahan ciptaan-Nya (outdoor learning). Selama mengikuti proses pembelajaran, kami (santri) selalu memakai masker dan selalu menjaga jarak satu sama lain. Ustadz dan ustadzah pun selalu memakai masker kapanpun dan di manapun, kecuali pada saat makan dan tidur tentu saja. Dengan begitu, kami merasa aman dan tenteram di lingkungan pondok kami. Ditambah lagi penerapan pola hidup bersih dan sehat serta pola makan gizi seimbang demi memastikan ketahanan tubuh kami selalu terjaga dengan baik.
Apapun yang ingin dipelajari, dengan adanya PTM, kita bisa mempelajarinya dengan lebih mudah dan menyenangkan daripada melalui PJJ. Contohnya berolah raga, praktik langsung di lapangan, membuat berbagai macam percobaan dan penelitian sederhana di alam, bertani, beternak, dan masih banyak lagi. Apa jadinya jika semua itu hanya kita lihat dan tonton melalui layar handphone atau komputer? Apalagi pengembangan softskills yang merupakan faktor terpenting dalam menjalani kehidupan dan merupakan penentu kesuksesan seseorang akan lebih efektif jika dilakukan melalui pembelajaran tatap muka. Akan aku yakinkan teman-teman semua dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Prof. J. Stanley. Ia adalah seorang profesor keuangan dari Amerika yang melalui bukunya, The Millionaire Mind (2000) mengungkap fakta mencengangkan tentang kesuksesan seseorang. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 733 jutawan di Amerika dan hasilnya menunjukkan bahwa 10 dari 100 faktor utama penentu kesuksesan seseorang adalah softskills, dengan kejujuran menempati urutan pertama. Fakta tersebut membuktikan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan oleh seberapa besar IQ, nilai ujian, ataupun peringkat yang diperolehnya, akan tetapi karakter yang dimilikinya.
Oleh karena itu, aku merasa beruntung sekali bisa melaksanakan PTM di sekolahku. Karena sekolah ini adalah tempat aku belajar hidup. Tamat sekolah nanti aku harus bisa hidup, bukan baru belajar hidup. Kita adalah orang-orang terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia. Kitalah yang akan membawa peradaban bangsa ini menuju puncak kejayaannya. Semua hal itu adalah ilmu yang sangat mahal yang tidak akan aku dapatkan di sekolah lain. Sekolah ini adalah tempat yang tepat untuk mencetak generasi pemimpin, generasi yang akan mengantarkan bangsa Indonesia menuju Indonesia emas di tahun 2045 nanti.